CERITA DEWASA PENARI JALANAN AYU MENJUAL DIRI

CERITA DEWASA PENARI JALANAN AYU MENJUAL DIRI


CERITA DEWASA PENARI JALANAN AYU MENJUAL DIRI, Hasrat-Bispak30 Semuanya orang didalamnya harus bertarung serta berkorban agar tidak tersisih, dan tidak seluruhnya jalan yang dapat dilintasi itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita cerita hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang gak banyak yang kenal nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa untuk anak wanita di daerah saya, namun berarti gak sekedar itu. Denok  bermakna montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Saat kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak hanya satu Bapak serta Simbok, satu keluarga petani penggarap yang gak berpunya. Mulai sejak kecil saya diajari menari oleh Simbok, karena beliau sendiri waktu muda ialah seseorang penari, serta kerapkali ditanggap jika ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti sewaktu satu hari saya dan Simbok temui Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak mempunyai banyak hutang karena sebab edan judi, dan beliau tak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang berduka karena Bapak sudah tak ada, namun juga kebingungan sebab sekian hari sesudah Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah karena rumah kami diambil biro judi yang memberinya hutang pada Bapak. Kami gak miliki lokasi tujuan, serta uang simpanan kami tidak berapa. Simbok pada akhirnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat mencoba mencari uang, moga-moga dari sana mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya sekedar alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima karena dikira pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak perlu ijazah, lawan sangat banyak. Pada akhirnya sehabis cukuplah lama melihat bermacam peluang yang ada, Simbok memutus untuk manfaatkan keterampilan kami. Hanya modal kemeja dan peralatan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awalilah kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota lagi bersiap ujian akhir SMA atau jalani tahun mula kuliah, dan yang di kampung menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai menjalani kehidupan baru, menawarkan keterampilan seni tari bersama Simbok. Sebelumnya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sekedar cari keramaian di mana kami dapat mendapat beberapa lembar rupiah buat melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mengevaluasi jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang ingin kami hibur dengan tarian kami. Rupanya tidak mudah pun cari uang dengan sesuai ini, paling-paling yang kami peroleh hanya buat makan kami berdua, satu atau 2x dalam hari itu. Serta gak di seluruh tempat kami dapat memperoleh pemirsa yang siap bayar, terkadang kami malahan ditendang atau dihardik. Sehabis cukuplah lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat selalu bisa pirsawan dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekelilingnya. Kami juga sewa satu kamar sewa murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, yang datang dari kelompok menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat membikin mereka ingat daerah semasing. Hadirnya kami di situ terus disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Meskipun seringkali helai-lembar itu diserahkan kepada kami kurang santun contohnya dengan diselinapkan ke busana kami. Apa saya dan Simbok memanglah merayu? Tidak tahu ya. Saya sendiri tidak terasa elok. Menjadi anak petani yang kerap main di luar semenjak kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Namun Simbok pula sejak dulu terus mengajarkan dan memperingatkan saya untuk menjaga badan biarpun melalui langkah simpel, jadi walaupun sawo masak, kulit saya masih mulus serta tak jerawatan manalagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Ditimbang-timbang betul pula sich bila di sebut saya montok. Tak tahu mengapa, meskipun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap tubuh saya bisa-bisa ya. Sebelumnya remaja saja tetek saya udah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur sampai saya selalu takut dengan kemben saya tiap-tiap kali menari. Pantat saya  cepat karena dibuat latihan olah badan dalam tarian. Ada yang omong bahenol, saya sich matur nuwun saja bila ada yang menganggapnya demikian. Bertanya-tanyanya, meskipun atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya bakal jadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, bila Simbok itu elok. Sampai usia begitu lantas beliau masih tetap elok. cerpensex.com Ditambah lagi bila sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Semuanya orang nengok serta tidak saksikan apapun kembali. Saya sendiri selalu terasa buruk lho jika tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia sekedar saya sendiri yang nganggap muka saya buruk. Disamping Simbok, beberapa orang yang umum lihat kami menari kok semua omong saya elok. Saya berpikir, itu sich pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu pertamanya kali didandani buat ngamen, saya protes, kok ribet benar-benar. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk dan kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, hingga berbeda warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat makin tebal. Bibir pun diberi gincu warna merah oke. Saya saat itu ngeluh,


"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita harus membuat suka yang melihat." WAJIB 4D


Lambat-laun saya biasa pula menggunakan dandanan begitu, malahan saya bikin guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari terbentuk penganten, bentar bila nikah betulan harus seperti apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sesuai sama kemben, kain batik, dan selendang. 


Namun betul-betul yang bernama nasib itu jalannya gak ada yang ketahui. 2 bulan kami ada di dekat Pasar, malapetaka ada kembali. Waktu sedang nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kritis. Saya was-was, beberapa orang di kitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok tidak terselamatkan. Simbok wafat di rumah sakit sehabis 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sebetulnya sejak mulai ketabrak pula Simbok tidak ada angan-angan, namun entahlah mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya sampai sepanjang hari. Hingga sampai tidak sampai hati saya menyaksikannya. Saat itu ada yang bisik-bisik, barangkali Simbok pasang susuk, sebab itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara begitu. Tetapi apa itu betul atau gak, saya tak ingin tahu, biarkanlah itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit serta penguburan, justru harus berutang kemanapun. Saya gak sanggup menyelenggarakan acara jenis-jenis buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana serta berjumpa kembali dengan Bapak. Satu minggu lebih saya di sewa saja karena begitu berduka. Barangkali setiap hari saya menangis, sendu ingat Simbok, pun kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri buat keluar kembali, ngamen kembali, sebab uang telah habis serta saya pula perlu menghadapi banyak tukang tagih hutang yang tak mau tahu persoalan saya . Maka, 1 minggu sehabis Simbok dikebumikan, saya kembali bersiap untuk keluar, menari. Dihadapan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya supaya gak tampak sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, cocok keluar kamar saya justru berjumpa dengan ibu yang miliki kontrak. Sang ibu gak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak miliki uang, jadi saya cuman dapat omong maaf, dan sang ibu malahan ngancam secara lembut. Tidak apapun gak bayar, ucapnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya kendala untuk saya. Saya ingin upaya dahulu, kata saya, kelak bakal saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA PENARI JALANAN AYU MENJUAL DIRI


Naasnya, hari itu pasar rada sepi, serta setelah dua jam saya anyar bisa Rp5000 setelah menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala dipenuhi dengan ingatan, bagaimana triknya agar kelak kalaupun pulang telah miliki cukup uang buat bayar sewa. Belum hutang-hutang yang lain. Mendekati siang, saya lagi jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya memandang Juragan tengah mengalkulasi segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya saat itu sekedar mengenal beliau sebagai ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua ketimbang Simbok, kemungkinan umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar serta perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, serta pegawai-pegawainya memberinya kami uang tetapi beliau tak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang terhadap Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendekati Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot di serta berada di belakang. Tokonya tengah sepi, tak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan menyaksikan saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya tidak kuat bilangnya. Tetapi saya harus omong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya telah habis untuk cost penyemayaman Simbok… saat ini saya perlu bayar sewaan dua bulan…"


"Hah?" Juragan memandang saya dengan aneh, "Kamu butuh uang?"


"Tolong, Juragan," saya mengharap kembali, "Saya udah ditagih, ini hari mesti ada, atau saya ditendang. Saya janji akan balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung kantongi segepok uang barusan ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberi hutang. Kamu perlu uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja." WAJIB 4D


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya dongkol tetapi tak berani menunjukkan; nampaknya Juragan tidak ingin pinjamkan uang. "Sekedar seramnya saya tidak dapat cukup uang ini hari untuk bayar kontrak. Kalaupun berjualan, saya nggak miliki apapun, harus jual apa?"


Namun selanjutnya tatapan Juragan kok beralih jadi aneh… Beliau dekati saya serta merengkuh saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa ngomong kamu tidak miliki apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengen kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan lagi terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya memikirkan apa artinya itu.


"Kalaupun kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar buat bulan kedepan," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya harus bagaimana? Saya perlu uang, namun apa perlu dengan semacam ini? Tetapi jika gak, bagaimana kembali? Yang ada saya dapat ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama juga. Saya gak mempunyai opsi lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga sampai gak terdengaran. Kalaupun saja tidak ketutupan bedak, barangkali udah tampak muka saya berbeda merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga sampai tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan tidak mempunyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya selalu menyaksikani lantai, tak berani membawa kepala, tetapi sesekali saya ngintip ke sana-kemari lihat situasi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang perlihatkan Juragan dengan orang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mencermati sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian omong,


"Denok, angkat kepalamu, tonton saya." Saya nurut. Barangkali ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," ucapnya.


Ia simpan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, menyaksikan uang itu. Besar sekali untuk saya. Rata-rata sepanjang hari menari saya tak sempat mendapat uang sekitar itu. Namun saya selalu kuatir. Juragan mendadak ingin ambil kembali uang itu.


"Jika tidak mau ya telah," tukasnya dengan suara kurang puas.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Sesuai tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum lihat saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membuat orang hasrat ajah…" saya tonton Juragan nyengir lebar sehabis bicara itu. sumpah, anyar kesempatan ini ada lelaki buka-bukaan ngaku begitu.


Helai uang lima puluh ribu tadi ditempatkan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia sisipkan ke… aduh! Ia imbuhkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," ucapnya. Duh, gak yakin rasanya. Awal mulanya saya dan Simbok perlu menari sepanjang hari, sampai pegal-pegal, buat memperoleh duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya memperoleh uang sekitar itu … kok enteng sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka semua," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan sukai dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang omong itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih yang ditahan tangan saya, dan kainnya melesat demikian saja tiada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya bisa memperoleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan meminta saya membuka pun kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena kemungkinan barusan saya malu dan lamban satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya serta mengungkap kain batik saya. Saya langsung mundur, namun tangan Juragan selanjutnya menggenggam bahu saya.


"Gak boleh takut, Denok…" ucapnya.


Juragan pun menggenggam paha saya masih yang beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu sebab sentuhan Juragan. Tangannya selanjutnya nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bergesekan dengan kulit paha saya, dan saya semakin deg-degan. Ia lagi remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara beberapa macam dari mulut saya. Tangan satunya terus nyibak kain saya, hingga ke dekat pinggang… Duh, biyung, lagi diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga paha saya udah dikeluarkan dari buntelnya, sedikit kembali kancut saya nampak!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya selalu nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa harusnya saya lepas pula?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sembari saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya buat pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya ragu, tetapi tidak tahu mengapa, saya pula kok rasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok ini jadi? Juragan terus menerus lihat sekujur badan saya, sekalian memberi pujian.


"Marilah donk, tidak perlu tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, jika kamu pengen kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan ditempatkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya nampak.


"Euh… Juragan… ingin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama